Agen Casino Online javascript:void(0)javascript:void(0)

Get Adobe Flash player

javascript:void(0)javascript:void(0)

Get Adobe Flash player

Cerita Sex : Ayu sang kekasih

Cerita Sex : Ayu sang kekasih Cinta pertama tak pernah mati, apalagi bila cinta itu tumbuh saat masa kanak-kanak atau remaja. Kesederhanaan kala itu justru menjadikan pengalaman masa lalu terpatri erat di dalam sanubari sebagai kenangan indah yang tak terlupakan. Kisah nyata ini kualami dengan seorang gadis yang kukenal dan teman bermain sejak kecil, kisah pacaranku dengan Ayu, seorang gadis yang sangat istimewa bagiku.
Kisah ini terjadi di awal tahun sembilan puluhan. Saat masih kanak-kanak, kami bermain seperti halnya anak-anak pada umumnya.
"Hoom-pim-pah .."
"Agus jaga..". Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami, anak-anak yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung Ma' Ati yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. Aku merangkak masuk di bawah meja warung itu, Ayu mengikutiku dari belakang dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku mengintip lewat celah kecil di gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan untuk lari keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada dekatnya. Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku. Apakah ini yang namanya "cinta anak-anak"? Aku tak tahu. Yang aku tahu Ayu memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku bilang begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya cocok kalau aku jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan lain Ayu cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa kecil kami memang menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak pernah dengar kabar apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Ayu.

Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan. Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
"Eh Rik, apa kabar?"
"Oh, baik saja oom."
"Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku."
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku segera teringat pada seseorang.
"Apakah, apakah dia ..?"
"Benar Rik, dia Ayu."
"Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu."
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
"Ini Riki, tentu kamu kenal dia," kata oomku.
Kami bersalaman.
"Wah, sudah gede sekali kamu Ayu."
"Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?" katanya sambil tertawa.

Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada tertawanya ketika ia kecil. Aku benar-benar terpesona melihat Ayu, aku ingat Ayu kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan aku pasti juga terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang tidak mewah, tetapi serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai. Bahunya terbuka, buah dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu membedakannya dengan Ayu kecil yang pernah kukenal.
"Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain," kata oomku seraya meninggalkan kami.
"Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ," kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
"Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?"
"Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?"
"Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?"
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya, perlahan ia berkata, "Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja. Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu."
"Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri-sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa."

Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan aku memandang wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta anak-anak itu mulai digantikan dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah ia merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati padanya. Malam itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.

Sekembali ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika ia menyuratiku akan berkunjung ke Bandung mengantar ibunya untuk suatu urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun, ibunya melakukan dagang kecil-kecilan. Aku senang sekali atas kedatangan mereka. Kucarikan sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku. Hotel itu sederhana tetapi cukup bersih.

Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun kereta api dan mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah, aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan menikmati udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di bahunya yang tertutup oleh jaket. Kami berjalan menempuh jarak beberapa kilometer, jarak yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi anehnya kami merasakan jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami masih melanjutkan pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam, sementara ibu Ayu sudah mengarungi alam mimpi. Besok sorenya aku ke hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota mereka. Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu sedang mengemasi barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu. Tiba-tiba terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
"Ayu, bolehkah ..?"
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
"Sorry Ayu, bukan maksudku .."
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, "Ayu, sorry ya dengan yang tadi."
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
"Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami."

Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap serius. Aku sering membuka suratku dengan "Ayuku tersayang". Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang nakal. Dia juga berani membalasnya dengan nakal. Pernah dia menulis begini, "Sekarang di sini udaranya sangat panas Rik, sampai kalau tidur aku cuma pakai celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku juga)."
Membaca surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang kugunakan untuk membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa saja, yang membuat ia merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi aku tak pernah cerita pada dia tentang ini.)

Sampai tiba liburan semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Aku tiba pagi hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di jari manisnya.
"Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?"
Kutarik tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga menggenggam. Kuremas-remas jari-jari itu. Dia membiarkannya. Kami berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
"Aku bereskan meja dulu."
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana-nama, aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan. Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena orang-orang di rumah itu masih belum tidur. Ayu membuat secangkir kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh rumah mulai sepi, orang tua dan adik Ayu sudah masuk ke kamar tidur masing-masing. Hanya tinggal aku dan Ayu di ruang tamu. Ia duduk di sofa di sebelah kananku.

Dari obrolan biasa aku mulai berani. Kulingkarkan tanganku dibahunya. Ayu diam saja dan menunduk. Dengan tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya, kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar. Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan tangan kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya, dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan bahkan menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau rambutnya. Aku pun tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap diam dan tampaknya ia menikmatinya.

Setelah beberapa saat ia menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia menaruh tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh penisku, jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai aktif. Walaupun masih terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap di situ. Aku melangkah lebih jauh lagi, tanganku yang berada di dadanya sekarang memasuki dasternya, menyusup di sela-sela BH-nya dan kuremas-remas payudaranya langsung. Payudaranya memang tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal dalam remasanku. Dia tak mau kalah, tangannya menyusup masuk ke celana dalamku dan langsung menyentuh penisku lalu mengenggamnya. Bergetar hatiku, baru kali itu penisku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak. Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak tahan .. menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana dalamku. Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.
"Kental ya Rik," bisiknya.
"Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama," kataku kecewa.
"Aku tahu Rik," ia memahami.
"Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu," lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.

Malam kedua. Seperti halnya malam pertama, setelah suasana sepi kami memulai dengan berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya, lalu lidahku masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa manis dan segar di mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas sebelumnya. Lalu kami main remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak memakai BH hingga lebih mudah bagiku meremas-remas payudaranya. Seperti kemarin tangannya pun meraba-raba penisku. Aku sudah khawatir kalau aku akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga ingin melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke bawah, kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu kami cuma main remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya, dan dia membelai-belai penisku sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga hingga cairanku menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti kemarin. Tetapi aku lebih senang karena kami bisa bermain-main lebih lama. Aku merasa ada kemajuan, aku lebih percaya diri.

Malam ketiga. Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan saling berciuman di sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa sebuah buku seksologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka pada halaman yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara bekerjanya alat itu. Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru biologi aku menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku. Kuturunkan celana dalamku hingga penisku menyembul keluar dan kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda dengan yang di gambar, kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak. Ayu memperhatikan penisku itu.
"Itu lubangnya ada dua ya?" tanyanya, "Satu untuk kencing, satu lagi untuk ngeluarin?"
"Ah, engga. Cuma ada satu," kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening. Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
"Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya," katanya sambil tertawa.
"Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?" sahutku.
"Katanya sih," sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
"Kalau ini isinya apa?" Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
"Biji salak kali," jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
"Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar," bisikku. Diapun menurut, dia masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
"Boleh aku lihat punyamu?" tanyaku.
"Jangan ah," jawabnya.
"Sebentar saja," kataku.
Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu jariku membuka celah di situ dan kulihat basah di dalamnya.
"Kok basah kuyup begini."
"Tadi kamu juga."
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca buku seksologiku ada bagian yang namanya "labia majora", ada "labia minora", ada "clitoris." Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
"Sudah ah, malu," katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
"Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi," kataku bercanda.
"Kan katamu cuma lihat sebentar."

Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali mengusap-usap penisku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya (dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di balik celana dalam itu dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku merasakan basahnya. Kurebahkan dia di sofa, kutarik celana dalamnya. Tapi Ayu menolak tanganku dan berbisik,
"Di kamar saja Rik."
Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
"Kamu masuk duluan," katanya.

Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
"Rik, masukkan saja..," bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya. Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya, seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak mengerang.
"Pelan-pelan Rik," bisiknya.
Kudorong penisku pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan mengeluh. Kami berdua merasa di awang-awang. Rasanya bumi ini hanya milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari sentuhan-sentuhan yang paling peka.

Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,
"Rik, Rik,.." Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
"Ayu.." Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
"Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi," katanya.
"Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu," kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami pun tertidur.

Menjelang pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan dasternya.
"Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi."
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
"Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu."
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
"Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik," candanya.

Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku, sebentar dalam mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit, mengarahkan lubangnya ke ujung penisku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke belakang hingga penisku masuk ke dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di perutku. Tanganku meremas-remas payudaranya dan ia menggoyang-goyangkan tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan kami yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat sudah, ia mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun tertidur dengan rasa bahagia.

Malam keempat. Kami mulai dengan bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku juga melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang. Aku terpesona melihat Ayu berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi. Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya. Kalau saja aku bisa memotretnya pasti tiap malam kupandangi foto itu dengan penuh pesona.
"Luar biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?"
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup dadaku di berbagai tempat.

Kulepas celana mini dan blousenya. Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami saling menempel. penisku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan rambut-rambutku, hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami bercumbu rayu dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya, malam itu kami melakukan lagi dua kali.

Esoknya aku harus kembali ke kotaku. Hari itu Ayu mengambil cuti seharian ia menemaniku. Sore hari Ayu mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika aku menyalami dia.
"Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu," katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
"Aku pasti datang lagi Ayu," tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.

Pertemuanku dengan Ayu berikutnya terjadi beberapa bulan kemudian. Waktu itu aku sedang menyiapkan tugas akhir kuliahku. Ia mengantar ibunya yang datang untuk suatu urusan dagang ke kota tempat aku studi. Aku sudah minta pada Bu Elly, ibu indekosku, kalau bisa mereka boleh tinggal di kamarku. Bu Elly orangnya baik, ia tidak berkeberatan. Ia bilang bahwa di kamar tengah ada kasur dan bantal ekstra serta selimut yang boleh aku pakai. Kuambil kasur dan kugelar di lantai di kamarku yang hanya 3 kali 3 meter. Hatiku ceria menyambut kedatangannya.

Besok paginya aku menjemput mereka di stasiun kereta api. Ayu memakai celana slacks hitam setinggi betis dan blouse berwarna merah. Rambutnya bergerai panjang. Tak tampak kelelahan pada wajahnya setelah perjalanan semalam. Kukecup pipi Ayu dan kusalami ibunya. Lalu aku bantu mereka membawa barang-barangnya. Dengan taksi kami menuju tempat indekosku. Mereka membawa mangga dan dodol untuk Bu Elly dan juga untukku. Pagi itu mereka istirahat di kamarku dan aku pergi ke kampus. Siangnya kuantar mereka ke relasi dagang ibu Ayu.

Sore hari, setelah mandi, aku duduk-duduk di kamar tamu ngobrol dengan Ayu sementara ibunya ngobrol dengan Bu Elly di kamar makan. Setelah berbicara tentang berbagai hal, tiba-tiba Ayu bertanya,
"Rik, apakah orangtuamu sudah tahu tentang kita?"
Aku belum siap untuk pertanyaan itu.
"Belum Ayu, nanti setelah sidang sarjana aku akan pulang membicarakan dengan mereka."
Wajahnya pun murung dan ia menunduk.
"Ada apa Ayu?"
"Aku takut Rik. Takut kalau mereka tidak setuju. Kita tidak sederajat. Kamu mahasiswa, sebentar lagi sarjana, aku cuma karyawati."
"Mengapa kamu bilang begitu? Aku tak peduli soal itu."
Dia diam saja. Kulihat air matanya menggenang. Kuambil sapu tanganku untuk mengusapnya.
"Rik, aku ingat masa kecil kita. Alangkah senangnya waktu kita anak-anak, kita hanya ingat bermain dan bermain. Yang ada hanya senang saja. Tidak ada kesulitan hidup."

Kugenggam tangannya. Aku merasakan hidupnya tidak mudah. Aku berjanji dalam hatiku akan membahagiakan dia kalau ia kelak menjadi milikku.
"Rik, andaikan kita sampai putus, aku akan pergi jauh.. jauh sekali."
"Mengapa kamu berpikir sampai ke situ Ayu?"
Bi Ipah keluar menyuguhkan teh bagi kami. Ayu mengusap airmatanya, menyibak rambutnya dan mencoba tersenyum,
"Terima kasih bi."
Setelah Bi Ipah meletakkan gelas-gelas itu di meja dan kembali ke belakang Ayu melanjutkan.
"Aku tak punya kepandaian, tak punya apa-apa. Kebanyakan gajiku untuk keperluan rumah dan sekolah adikku."
Memang ayahnya sudah pensiun dan ibunya dagang kecil-kecilan hingga ia harus membantu membiayai rumah tangganya.
"Kepandaian selalu bisa dicari Ayu, setelah ada kesempatan."
Tiba-tiba aku ingat bahwa aku mempunyai tabungan, hasil dari aku memberi les komputer yang jumlahnya lumayan.
"Ayu, aku punya tabungan. Tabungan kita. Hasil memberi les komputer. Sebaiknya kamu saja yang pegang Ayu. Kamu lebih tahu cara menggunakan uang. Nanti kutransfer. Dari orang tuaku sudah cukup untukku."
Segera Ayu berkata, "Jangan Rik, sebaiknya jangan."
"Milikku juga milikmu Ayu, percayalah."
Ia diam saja.
"Ayu, kamu percaya aku kan?"
Kutengadahkan wajahnya, "Senyum dong, jangan murung begitu." Iapun tersenyum sedikit lalu menundukkan kepalanya lagi.

Tak lama ibu Ayu keluar dan bergabung duduk dengan kami. Mungkin ia juga melihat bekas menangis Ayu. Malam itu kami tak kemana-mana. Setelah makan malam kami duduk ngobrol-ngobrol di kamar makan. Kami bercerita tentang berbagai hal. Tentang bisnis ibu Ayu, tentang studiku yang hampir selesai dan macam-macam lainnya. Kemudian kami pun masuk ke kamar.
Di kamar, ibu Ayu tidur di tempat tidurku sedang aku dan Ayu tidur di kasur yang di gelar di bawah. Lampu kamar kami matikan, tetapi tidak gelap benar karena ada sedikit cahaya dari luar. Udara di Bandung memang dingin hingga kami harus menggunakan selimut. Aku dan Ayu berada dalam satu selimut. Ayu rebah menghadap depan dan aku di belakangnya, seolah-olah membonceng motor. Wangi rambutnya menghambur ke hidungku. Aku dan Ayu pura-pura memejamkan mata tetapi tak lama, setelah beberapa saat tangan-tangan kami mulai "bergerilya" di balik selimut. Ayu memakai daster dengan ruitsluting di depan. Aku buka ruitsluiting itu, ia tak memakai bra hingga tanganku bebas meraba-raba payudaranya. Aku lepas celanaku hingga aku cuma bercelana dalam. Tangan Ayu pun menyusup masuk meraba-raba penisku. Semua itu kami lakukan sepelan mungkin agar ibu Ayu tidak mendengar. Atau mungkin juga dia mendengar "kesibukan" kami. Kemudian kami "ngobrol" tanpa mengucapkan suatu katapun. Caranya? Dengan jari aku menuliskan huruf-huruf di telapak tangannya, setiap kali satu huruf, ia menjawab juga dengan cara itu di telapak tanganku. Bila salah tulis kuusap-usap telapak tangannya seolah-olah menghapusnya, ia juga begitu. Sampai sekarang kami masih tertawa kalau ingat cara berkomunikasi itu.

Tak lama kemudian aku mendengar ibu Ayu mendengkur. Nah sudah lebih aman sekarang. Ayu pun membalikkan badannya menghadap aku. Ia memeluk dan mengecupku. Kulepas celana dalam Ayu, dan ia melepas celana dalamku. Ia memegang penisku dan menggeser-geserkan ke vaginanya. Ia menciumi leher dan dadaku Lalu ia kembali membelakangiku. Pangkal pahanya diangkatnya sedikit, memberi jalan hingga penisku bisa menyentuh vaginanya dari belakang. Kucari lubangnya dan kudorong, dan masuk. Ia menggelinjang sedikit. Kugerakkan tubuhku ke depan dan ke belakang dengan irama tidak terlalu cepat. Kulakukan itu sambil tanganku meremas-remas payudaranya. Setelah beberapa saat kurasakan tubuh Ayu menegang, ia menggenggam tanganku erat-erat, kudengar desahnya perlahan. Tak lama kemudian aku pun mengikutinya. Semua terjadi di bawah selimut. Sesaat kemudian Ayu bangkit keluar ke kamar mandi membersihkan diri. Setelah Ayu kembali, aku menunggu sekitar lima belas menit (agar tak ada yang curiga telah "terjadi sesuatu"), baru aku keluar untuk cuci-cuci. Sekembaliku ke kamar kutuliskan di telapak tangannya nice sleep dan kamipun tidur.

Besoknya aku bermaksud mengajak Ayu dan ibunya berekreasi. Tetapi ibu Ayu berkata ia tidak akan ikut, ia lebih senang tinggal di rumah, ia ingin membantu Bu Elly membuat kue. Apalagi relasi dagangnya berjanji akan datang ke situ. Kukeluarkan Vespa-ku. Ayu mengenakan celana slacks abu-abu dengan baju kaus berwarna krem. Baju kausnya yang ketat itu memperlihatkan lekuk-lekuk badannya.
"Kita kemana Rik?" Tanyanya.
"Kita ke pemandian air panas saja Ayu."

Kuboncengkan Ayu dengan Vespa-ku. Udara pagi itu cerah dan segar. Vespa-ku menikung-nikung mendaki jalan pegunungan. Ayu di belakang mendekap aku. Sekitar satu jam kami pun sampai di tempat pemandian air panas. Setelah memarkir Vespa aku membayar karcis dan masuk. Waktu itu bukan hari libur hingga sepi di situ. Setengah berbisik aku bertanya pada penjaga apakah bisa menyewa sebuah kamar mandi. Sebenarnya ada peraturan yang melarang menggunakan kamar mandi lebih dari seorang, apalagi dengan orang yang berlawanan jenis. Tetapi aku memberi uang lebih dan ia membolehkan aku. Setelah ditunjukkan tempatnya aku dan Ayu pun masuk ke kamar mandi itu.

Segera setelah kututup pintu kamar mandi kami langsung berdekapan dan berkecupan. Gairah mulai meluap. Ayu membuka celana jeansku. Aku juga membuka celana slacks-nya. Ia membuka bajuku, aku membuka kausnya. Ia memakai celana dalam dan bra berwarna biru muda. Aku juga cuma bercelana dalam berwarna biru muda yang tidak cukup lebar untuk menutupi penisku yang tegang menyembul keluar.
"Kok warnanya sama, tadi kamu ngintip dulu ya?" candanya.
"Itu namanya kalau jodoh," jawabku tertawa (tentu saja aku tak sengaja warna celana dalam kami bisa sama).
"Belum-belum kok sudah nongol gitu?" godanya sambil melirik ke bawah.
"Sudah kangen Ayu," bisikku.

Ia maju dan merangkul aku.
Kembali kami berpelukan dan bibir kami saling melumat. Kurasakan ia menempelkan erat-erat tubuh bawahnya ke tubuhku. Lalu ia jongkok di depanku dan melorotkan celana dalamku yang sudah tidak bisa menutupi penisku itu. Ia mengulum penisku, ia mengecup dan menjilati rambut-rambut di sekitarnya dan kantung bolaku. Lalu ia bangkit berdiri. Ganti aku jongkok di depannya, kucium perutnya, kuturunkan celana dalamnya dan kulepaskan, lalu kukecup rambut-rambutnya. Aku bangkit berdiri. Kulepaskan kaitannya bra-nya dan tak ada apa-apa lagi di tubuhnya. Kukecupi payudaranya. Aku ingat teknik-teknik yang pernah kulihat di blue film dan aku ingin mempraktekkannya. Sambil berdiri Ayu merangkulku, lalu kulakukan penetrasi. Kubantu Ayu menaikkan kedua kakinya dan sambil kutopang, kedua kakinya itu melingkari tubuhku. Kuayun-ayun tubuhnya. Kami lakukan ini namun tak sampai orgasme. Kucoba pula posisi lain. Ayu berlutut dan membungkukkan badannya pada posisi menungging. Aku berlutut di belakangnya. Kupegang pinggulnya dan aku melakukannya dari belakang. Setelah beberapa menit orgasme terjadi, Ayu dan aku hampir bersamaan.

Bak mandi sudah penuh dari tadi. Aku dan Ayu masuk ke bak mandi. Ayu duduk di pangkuanku berhadapan denganku. Kami saling menyabuni tubuh kami, bercanda, bercumbu, sambil menikmati hangatnya air di bak itu.
"Rik, kamu kalau sudah lulus akan bekerja di mana?"
"Kebetulan ada sebuah perusahaan yang sudah mau menampungku Ayu. Di kota ini juga. Aku akan bekerja di bagian IT-nya."
"Senang ya Rik kalau jadi orang pinter. Engga kayak aku ini."
"Kamu juga ikut senang kok Ayu karena kamu akan jadi permaisuriku. Dulu waktu kecil kan kamu selalu jadi permaisuriku, dan sekarang juga."
Ia tertawa, "Eh, ada raja rupanya di sini."
Kumain-mainkan putingnya dengan jari-jariku dan ia menggosok-gosok penisku hingga tegang kembali. Kembali kudekap dia dan kuciumi dia. Ia mengangkat tubuhnya sedikit lalu kuarahkan penisku ke lubangnya lalu ia duduk kembali dan penisku sudah lenyap ditelannya. Dalam rendaman air hangat itu kami kembali menumpahkan kasih sayang kami. Kami berada di kamar mandi itu satu jam lebih.

Keluar dari situ hampir tengah hari. Kami pergi ke sebuah restoran untuk mengisi perut. Hari masih panjang. Aku belum ingin pulang, di rumah indekos sangat tidak leluasa. Kutanya pada Ayu bagaimana kalau mencari hotel untuk beristirahat di sana. Ayu tidak keberatan. Kami menuju ke sebuah hotel tak jauh dari situ dan memperoleh kamar dengan kamar mandi shower. Segera setelah kami masuk kekamar itu, kami segera melepaskan semua yang ada di tubuh kami. Kusergap dia dan kudorong dia ke tempat tidur. Kami melakukannya lagi. Di ruangan itu aku dan Ayu bebas melakukan apa saja. Kami mandi bersama sambil bercumbu di bawah siraman air shower yang hangat. Nonton TV bersama. Seluruh waktu kami lewatkan tanpa ada apa-apa yang menutupi tubuh kami. Setelah mencapai suatu orgasme Ayu menanyaiku,
"Rik, bagaimana kalau sampai jadi?"
Terbersit kekhawatiran di benakku karena aku sebenarnya belum siap untuk itu.
"Anak kita pasti lucu ya," jawabku seadanya sambil mengusap-usap perutnya.
Karena lelah kami sempat tidur selama beberapa jam di hotel itu, berpelukan dengan tubuh telanjang. Kami pulang sore hari dan tiba di rumah indekos menjelang gelap.
Bu Elly bertanya, "Kemana saja kalian?"
"Habis berenang dan keliling kota bu."
Aku bisa menangkap sinar kecurigaan di matanya. Malam itu kami tak banyak melakukan "gerilya" di bawah selimut karena kami sudah cape. Esoknya aku mengantar Ayu dan ibunya ke stasiun untuk kembali ke kotanya. Setelah kusalami ibunya, kuberikan sun pipi pada Ayu. Ia berkata,
"Sukses ya Rik ujiannya. Jangan lupa cepat beri kabar setelah tahu hasilnya."

Dua bulan kemudian. Tiba saat sidang sarjana. Sejak pagi aku sudah siap dengan kemeja berdasi. Aku sudah berusaha sebaik mungkin mengerjakan tugas akhirku, tetapi toh aku aku tidak bisa melenyapkan rasa tegangku ketika berhadapan dengan tim penguji. Mereka baik tetapi tampak angker sekali. Pertanyaan demi pertanyaan diajukan dan aku berusaha menjawab semuanya. Setengah jam aku harus menunggu keputusan hasil sidang dengan debaran jantungku hingga beberapa kali aku harus ke kamar kecil. Tim penguji kembali masuk ke ruangan dan aku dinyatakan lulus dengan cumlaude. Sorakan meledak di ruangan itu, teman-temanku menyalamiku. Sayang sekali Ayu tidak ada di situ. Kukirimkan telegram kepada orang tuaku dan tentu tak lupa pada Ayu. Kuterima telegram balasan dari Ayu yang menyatakan selamat atas kelulusanku.
Beberapa hari kemudian surat Ayu menyusul. Ia menyatakan kebahagiaannya dan keluarganya atas keberhasilanku. Ia juga bercanda,
"Kapan pestanya?"
Tetapi aku terhenyak membaca akhir surat,
"Rik, aku sedang bingung. Sudah dua bulan aku tidak mens."

Sekarang Ayu hidup bersamaku dengan dua orang anak. Aku teringat permainanku semasa kecil. Aku pangeran mempersunting Ayu, gadis sederhana, menjadi puteri di istanaku. Kemauan belajarnya besar, ia mengambil les komputer, bahasa Inggeris, memasak dan sebagainya. Seperti aku ia juga suka membaca. Aku bahagia memiliki Ayu.

TAMAT